Tags
aji putih, amanah galunggung, cipaku, jatidiri, jatigede, kabuyutan, kabuyutan cipaku, lemah cai, tukuh cipaku
10 Tuesday May 2016
Posted Tepas
inTags
aji putih, amanah galunggung, cipaku, jatidiri, jatigede, kabuyutan, kabuyutan cipaku, lemah cai, tukuh cipaku
10 Tuesday May 2016
Posted Tepas
inTags
aji putih, cipaku, jatigede, kabuyutan cipaku, savejatigede, siloka tahu sumedang, sumedang, tahu sumedang
Karuhun Sunda atau Leluhur Sumedang dalam komunikasi selalu menggunakan Bahasa Siloka atau bahasa Simbol. Silib, Sindir, Sampir, Siloka, Sasmita, itu ragam bahasa Nyunda yang dalam penuh dengan makna Simbolis. Satu yang tidak bisa dipungkiri ketika menyebut Sumedang maka seluruh masyarakat Indonesia bahkan mungkin dunia akan langsung terbayang adalah TAHU, Tahu Sumedang sudah menjadi Brand Image atau Land Mark, Plang Tahu Sumedang berdiri tegak di pinggir jalan Bandung Sumedang bahkan menyebar ke seluruh Indonesia.
Seperti disampaikan sebelumnya Para Leluhur menyampaikan pesan melalui bahasa-bahasa Siloka atau Simbolis, TAHU Sumedang merupakan pesan dari leluhur tentang PengeTAHUan atau ILMU pengeTAHUan atau PUSTAKA dan uniknya profesi Masyarakat Sumedang selain Petani yang terbesar adalah GURU. Suatu kebetulan yang bukan kebetulan karena semuanya telah menjadi ketentuan Yang Maha Kuasa adalah Kampus Universitas dan Perguruan Tinggi terkenal secara fakta saat ini telah beralih ke Wilayah Sumedang Institut Teknologi Bandung, Universitas Pajajaran, STPDN, dan IKOPIN berada di JATInangor Sumedang. Semuanya itu berkaitan dengan Tahu PengeTAHUan.
Dalam Uga Jatigede, disampaikan bahwa Yang Maha Kuasa memiliki 7 pohon, Jati 7, dan Yang Maha Kuasa mengambil salah satunya lalu menanamnya di tempat Jatigede sekarang oleh karenanya Wilayah itu dinamakan Jatigede karena itu adalah salah satu pohon yang ditanam oleh Yang Maha Kuasa dari 7 pohon Jati yang ada. Makna Simbolisnya adalah bahwa Jatigede merupakan tanaman Yang Maha Kuasa untuk menandai suatu peristiwa. Peristiwa apakah yang akan terjadi kedepan yang ditanam oleh Yang Maha Kuasa tentu untuk mengingatkan Manusia dan Kemanusiaan, membangkitkan kesadaran tentang Dzat-i-Gede, Dzat terbesar yang ada dalam alam semesta, siapa lagi kalau bukan Tuhan Yang Maha Kuasa. Continue reading
01 Sunday May 2016
Posted Tepas
inSalah satu Legenda Sunda yang termasyur selain Sasakala Sangkuriang atau Sang Kuring juga ada Wawancan Munding Laya Dikusumah yang menceritakan perjalanan seorang Pangeran Putra Pajajaran yang mencari Layang Sasaka Domas untuk menyelamatkan Negara agar menjadi makmur sentosa dengan cara mengalahkan Jongrang Kalapitung raksasa penjaga Jabaning Langit dan menaklukan Guriang 7 untuk mendapatkan Layang Sasaka Domas. Legenda Munding Laya Dikusumah ini beredar luas di masyarakat Sunda yang turun temurun diceritakan dari orang tua pada anaknya. Di Kabuyutan Cipaku, Darmaraja, Sumedang sendiri Wawacan Mundinglaya Dikusumah ini merupakan cerita yang diceritakan oleh orang tua kepada anaknya menjelang tidur bersama dengan cerita Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Sangkuriang Kabeurangan, dan cerita lainnya. Uniknya di Kabuyutan Cipaku terdapat satu Situs yang merupakan tempat untuk menandai Wawacan Mundinglaya Dikusumah, nama Situsnya adalah Astana Gede Lembu Agung berada di Kabuyutan Cipaku dekat gerbang atau pintu masuk menuju Desa Cipaku Kecamatan Darma Raja Kabupaten Sumedang. Mundinglaya Dikusumah berasal dari kata Munding atau bahasa lainnya adalah Lembu dan Situs sangat disakralkan di Kabuyutan Cipaku selain Situs Prabu Guru Aji Putih adalah Situs Astana Gede Lembu Agung. Setiap anak- anak laki- laki yang disunat wajib di bawa berziarah ke Astana Gede Lembu Agung untuk mendapatkan berkah dan karomah dari Yang Maha Kuasa agar menjadi Pangeran layaknya Mundinglaya Dikusumah yang dipercaya akan menjadi juru selamat Bangsa dan Negara.
Leluhur Sunda selalu mengajarkan ilmu pengetahuan dengan bahasa- bahasa Simbolis, Legenda Mundinglaya Dikusumah tidak dapat kita artikan secara literal atau textual tetapi harus dipahami secara simbolis apa makna yang terkandung dari cerita legenda tersebut. Sosok Mundinglaya Dikusumah sendiri sebagai perwujudan dari sosok manusia yang memiliki budi yang luhur dalam cerita berhasil mengalahkan Jongrang Kalapitung yang merupakan seorang raksasa besar sekali ketika ditanya dimanakah lokasi Jabaning Langit, Jongrang Kalapitung menjawab DI TUBUH MU, ketika ditanya lagi dimana lokasi Jabaning Langit tempat Guriang 7 dan Sasaka Domas berada Jongrang Kalapitung menjawab DI HATI MU. Sosok Jongrang Kalapitung Sang Raksasa tiada lain adalah Sifat Raksasa / Buta yang ada dalam diri kita, dalam terminologi Islam dikenal dengan Iblis sebagai perwujudan Sifat kesombongan, angkara murka, yang terbuat dari API yang memiliki hawa panas, merupakan sifat- sifat keburukan yang ada dalam diri manusia, dimanakah mereka bersemayam tentu saja di dalam hati. Hati kita lah yang harus dikalahkan dari sifat-2 Jongrang Kalapitung / Raksasa/ Iblis yang penuh kesombongan, kebencian, haus darah dan kekuasaan.
Lalu apa makna Jabaning Langit, Guriang 7, dan Sasaka Domas? Jabaning Langit seperti disampaikan oleh Jongrang Kalapitung lokasinya ada di dalam tubuh kita dan tepatnya ada di dalam hati kita. Lalu apa yang dimaksud Mahluk Guriang 7 yang menjaga Layang Sasaka Domas yang harus ditaklukan oleh Mundinglaya Dikusumah? Guriang 7 tiada lain adalah 7 lapisan atau 7 langit atau 7 titik cakra yang ada dalam tubuh manusia dan puncak tertinggi dari 7 langit atau 7 cakra tersebut terdapat Suara Tuhan atau Ilahiah dengan simbol berwarna putih menggambarkan kesucian hati atau kebersihan hati sehingga segala bentuk sifat buruk yang ada dalam diri manusia telah berhasil dikalahkan. Layang Sasaka Domas sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan dapat tercapai apabila sifat- sifat buruk yang ada dalam diri manusia telah hilang yang ada hanyalah sifat-sifat baik dengan budipekerti yang luhur, membaktikan kehidupan dan dirinya untuk Tuhan dan Alam Semesta. Secara Simbolis Jabaning Langit dengan Guriang 7 nya adalah proses atau Jalan menuju keselamatan atau jalan menuju kesucian atau jalan menuju Tuhan agar menjadi Manusia yang Unggul dan Paripurna, Khalifah Fil Ardi, Manusia yang amanah mengabdikan dirinya untuk Tuhan Yang Maha Kuasa menjadi juru selamat bagi alam semesta dengan bahasa lainnya adalah Darma Raja, Pemimpin yang amanah menjalankan Darma.
Nama- nama yang terdapat di Kabuyutan Cipaku sangat unik sekali merupakan kunci untuk keselamatan dunia dan alam semesta seperti Mundinlaya Dikusumah/ Lembu Agung, Batara Guru Aji Putih sebagai simbol ilmu pengetahuan dan kesucian, Darma Raja / Khalifah Fil Ardi merupakan pemimpin yang amanah dan menjadi juru selamat, dan Sumedang Larang yang berarti Su adalah baik, Medang artinya lapang, dan Larang artinya tanpa tanding sehingga Sumedang dapat diartikan sebagai kebaikan dan kelapangan hati yang tiada tandingannya, dalam terminologi Islam Sumedang Larang adalah Ilmu Ikhlas dan Kebaikan yang tiada tandingannya. Seperti kita ketahui Agama berasal dari bahasa Sansakerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu a dan gama, a artinya tidak dan gama artinya kacau, Agama artinya tidak kacau atau jalan mencegah agar tidak kacau atau jalan menuju keselamatan. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia. Ada sekian banyak agama di dunia dari manakah semuanya berasal? Banyak ahli yang mengatakan bahwa Agama tertua adalah agama Hindu dan kata Hindu sendiri berasal dari kata Shindu yang merupakan sebuah peradaban Lembah Sungai Shindu konon sudah ada sejak 1500 SM. Namun dengan ditelitinya Situs Megalitikum Gunung Padang Cianjur dimana Carbon Dating dari batuannya menunjukan angka 18.000 tahun Sebelum Masehi membuat kita bertanya-tanya benarkah Agama Tertua itu berasal dari Lembah Sungai Shindu?
Masyarakat Kabuyutan Cipaku Darma Raja Sumedang sendiri begitu juga dengan Masyarakat Kabuyutan Kanekes Baduy Banten mempercayai dan meyakini bahwa seluruh peradaban dan agama yang ada di dunia berasal dari Tatar Sunda atau Benua Sunda. Keyakinan akan cikal bakal peradaban dunia berasal dari Benua Sunda atau Sundaland tersebut juga didukung oleh tulisan karya Prof. Stephen Openheimer yang berjudul Eden in The East, Sundaland, yang meneliti tentang penyebaran DNA manusia berasal dari Tatar Sunda atau Benua Sunda. Begitu juga dengan buku Prof. Ariyo Santos Ahli Geologi dari Brazil yang menceritakan tentang The Lost Atlantis dimana beliau menunjukan lokasinya adalah di Indonesia. Ada banyak bukti- bukti arkeologi yang mulai diteliti oleh para ahli arkeologi dari mulai Situs Megalitikum Gunung Padang, Situs Tulisan di Gua Maros Sulawesi, dan lainnya yang menunjukan bahwa peradaban Tatar Sunda atau Benua Sunda yang dahulu Indonesia merupakan satu hamparan benua dimana Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi masih menyatu, memiliki peradaban yang tinggi. Tentu peradaban tersebut didukung pula dengan sistem keagamaannya yang hingga kini masih beredar luas di masyarakat dalam bentuk Cerita Pantun, Mithos, Legenda, Wawacan, dan bahasa- bahasa simbolis yang diturunkan secara turun temurun dari para leluhur jaman dulu.