Tags

, , , , , ,

Salah satu Legenda Sunda yang termasyur selain Sasakala Sangkuriang atau Sang Kuring juga ada Wawancan Munding Laya Dikusumah yang menceritakan perjalanan seorang Pangeran Putra Pajajaran yang mencari Layang Sasaka Domas untuk menyelamatkan Negara agar menjadi makmur sentosa dengan cara mengalahkan Jongrang Kalapitung raksasa penjaga Jabaning Langit dan menaklukan Guriang 7 untuk mendapatkan Layang Sasaka Domas. Legenda Munding Laya Dikusumah ini beredar luas di masyarakat Sunda yang turun temurun diceritakan dari orang tua pada anaknya. Di Kabuyutan Cipaku, Darmaraja, Sumedang sendiri Wawacan Mundinglaya Dikusumah ini merupakan cerita yang diceritakan oleh orang tua kepada anaknya menjelang tidur bersama dengan cerita Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Sangkuriang Kabeurangan, dan cerita lainnya. Uniknya di Kabuyutan Cipaku terdapat satu Situs yang merupakan tempat untuk menandai Wawacan Mundinglaya Dikusumah, nama Situsnya adalah Astana Gede Lembu Agung berada di Kabuyutan Cipaku dekat gerbang atau pintu masuk menuju Desa Cipaku Kecamatan Darma Raja Kabupaten Sumedang. Mundinglaya Dikusumah berasal dari kata Munding atau bahasa lainnya adalah Lembu dan Situs sangat disakralkan di Kabuyutan Cipaku selain Situs Prabu Guru Aji Putih adalah Situs Astana Gede Lembu Agung. Setiap anak- anak laki- laki yang disunat wajib di bawa berziarah ke Astana Gede Lembu Agung untuk mendapatkan berkah dan karomah dari Yang Maha Kuasa agar menjadi Pangeran layaknya Mundinglaya Dikusumah yang dipercaya akan menjadi juru selamat Bangsa dan Negara.

Leluhur Sunda selalu mengajarkan ilmu pengetahuan dengan bahasa- bahasa Simbolis, Legenda Mundinglaya Dikusumah tidak dapat kita artikan secara literal atau textual tetapi harus dipahami secara simbolis apa makna yang terkandung dari cerita legenda tersebut. Sosok Mundinglaya Dikusumah sendiri sebagai perwujudan dari sosok manusia yang memiliki budi yang luhur dalam cerita berhasil mengalahkan Jongrang Kalapitung yang merupakan seorang raksasa besar sekali ketika ditanya dimanakah lokasi Jabaning Langit, Jongrang Kalapitung menjawab DI TUBUH MU, ketika ditanya lagi dimana lokasi Jabaning Langit tempat Guriang 7 dan Sasaka Domas berada Jongrang Kalapitung menjawab DI HATI MU. Sosok Jongrang Kalapitung Sang Raksasa tiada lain adalah Sifat Raksasa / Buta yang ada dalam diri kita, dalam terminologi Islam dikenal dengan Iblis sebagai perwujudan Sifat kesombongan, angkara murka, yang terbuat dari API yang memiliki hawa panas, merupakan sifat- sifat keburukan yang ada dalam diri manusia, dimanakah mereka bersemayam tentu saja di dalam hati. Hati kita lah yang harus dikalahkan dari sifat-2 Jongrang Kalapitung / Raksasa/ Iblis yang penuh kesombongan, kebencian, haus darah dan kekuasaan.

Lalu apa makna Jabaning Langit, Guriang 7, dan Sasaka Domas? Jabaning Langit seperti disampaikan oleh Jongrang Kalapitung lokasinya ada di dalam tubuh kita dan tepatnya ada di dalam hati kita. Lalu apa yang dimaksud Mahluk Guriang 7 yang menjaga Layang Sasaka Domas yang harus ditaklukan oleh Mundinglaya Dikusumah? Guriang 7 tiada lain adalah 7 lapisan atau 7 langit atau 7 titik cakra yang ada dalam tubuh manusia dan puncak tertinggi dari 7 langit atau 7 cakra tersebut terdapat Suara Tuhan atau Ilahiah dengan simbol berwarna putih menggambarkan kesucian hati atau kebersihan hati sehingga segala bentuk sifat buruk yang ada dalam diri manusia telah berhasil dikalahkan. Layang Sasaka Domas sebagai simbol kemakmuran dan kesejahteraan dapat tercapai apabila sifat- sifat buruk yang ada dalam diri manusia telah hilang yang ada hanyalah sifat-sifat baik dengan budipekerti yang luhur, membaktikan kehidupan dan dirinya untuk Tuhan dan Alam Semesta. Secara Simbolis Jabaning Langit dengan Guriang 7 nya adalah proses atau Jalan menuju keselamatan atau jalan menuju kesucian atau jalan menuju Tuhan agar menjadi Manusia yang Unggul dan Paripurna, Khalifah Fil Ardi, Manusia yang amanah mengabdikan dirinya untuk Tuhan Yang Maha Kuasa menjadi juru selamat bagi alam semesta dengan bahasa lainnya adalah Darma Raja, Pemimpin yang amanah menjalankan Darma.

Nama- nama yang terdapat di Kabuyutan Cipaku sangat unik sekali merupakan kunci untuk keselamatan dunia dan alam semesta seperti Mundinlaya Dikusumah/ Lembu Agung, Batara Guru Aji Putih sebagai simbol ilmu pengetahuan dan kesucian, Darma Raja / Khalifah Fil Ardi merupakan pemimpin yang amanah dan menjadi juru selamat, dan Sumedang Larang yang berarti Su adalah baik, Medang artinya lapang, dan Larang artinya tanpa tanding sehingga Sumedang dapat diartikan sebagai kebaikan dan kelapangan hati yang tiada tandingannya, dalam terminologi Islam Sumedang Larang adalah Ilmu Ikhlas dan Kebaikan yang tiada tandingannya. Seperti kita ketahui Agama berasal dari bahasa Sansakerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu a dan gama, a artinya tidak dan gama artinya kacau, Agama artinya tidak kacau atau jalan mencegah agar tidak kacau atau jalan menuju keselamatan. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia. Ada sekian banyak agama di dunia dari manakah semuanya berasal? Banyak ahli yang mengatakan bahwa Agama tertua adalah agama Hindu dan kata Hindu sendiri berasal dari kata Shindu yang merupakan sebuah peradaban Lembah Sungai Shindu konon sudah ada sejak 1500 SM. Namun dengan ditelitinya Situs Megalitikum Gunung Padang Cianjur dimana Carbon Dating dari batuannya menunjukan angka 18.000 tahun Sebelum Masehi membuat kita bertanya-tanya benarkah Agama Tertua itu berasal dari Lembah Sungai Shindu?

gunung-padang-cianjur-west-java-indonesiasitus-gunung-padang-indonesia-kuno-yang-mencengangkan-7UB

Masyarakat Kabuyutan Cipaku Darma Raja Sumedang sendiri begitu juga dengan Masyarakat Kabuyutan Kanekes Baduy Banten mempercayai dan meyakini bahwa seluruh peradaban dan agama yang ada di dunia berasal dari Tatar Sunda atau Benua Sunda. Keyakinan akan cikal bakal peradaban dunia berasal dari Benua Sunda atau Sundaland tersebut juga didukung oleh tulisan karya Prof. Stephen Openheimer yang berjudul Eden in The East, Sundaland, yang meneliti tentang penyebaran DNA manusia berasal dari Tatar Sunda atau Benua Sunda. Begitu juga dengan buku Prof. Ariyo Santos Ahli Geologi dari Brazil yang menceritakan tentang The Lost Atlantis dimana beliau menunjukan lokasinya adalah di Indonesia. Ada banyak bukti- bukti arkeologi yang mulai diteliti oleh para ahli arkeologi dari mulai Situs Megalitikum Gunung Padang, Situs Tulisan di Gua Maros Sulawesi, dan lainnya yang menunjukan bahwa peradaban Tatar Sunda atau Benua Sunda yang dahulu Indonesia merupakan satu hamparan benua dimana Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi masih menyatu, memiliki peradaban yang tinggi. Tentu peradaban tersebut didukung pula dengan sistem keagamaannya yang hingga kini masih beredar luas di masyarakat dalam bentuk Cerita Pantun, Mithos, Legenda, Wawacan, dan bahasa- bahasa simbolis yang diturunkan secara turun temurun dari para leluhur jaman dulu.

Secara historis dan kronologis urutan agama- agama di dunia adalah dimulai dari Shindu ~ Hindu yang merupakan buah karya dari para Brahmana yang mendapatkan pencerahan dari Tuhan Yang Maha Kuasa, lalu kemudian muncul agama Budha yang dikembangkan oleh Sidharta Gautama, lalu kemudian timbul Agama Abrahamik atau Agama keturunan Ibrahim (Brahm ~ Brahma?) yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Dalam kepercayaan Agama Shindu purba konsep Ketuhanan pun bersifat Monoteistik mempercayai terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang disebut sebagai Atman atau Brahman dan seluruh Dewa yang ada di alam semesta Tunduk terhadap Brahman atau Tuhan. Dalam Terminologi Shindu / Hindu Tuhan Yang Maha Esa berada di posisi puncak dari 7 Cakra yang bersimbol warna Putih dengan tulisan atau suara OM keduanya menggunakan hurup besar, simbol Ketuhanan dalam agama Shindu atau Hindu. Dalam perkembangannya Agama Shindu kemudian meyakini bahwa Tuhan dalam pelaksanaannya di Alam Semesta menunjuk Para Dewa yang bertugas untuk menjalankan perintah Tuhan.

Kata “dewa” dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dewa atau daiwa (bahasa Sanskerta), yang berasal dari kata diw (bahasa India-Iran), yang berasal dari kata deiwos atau deywos (bahasa Proto-India-Eropa), yang merupakan turunan dari kata diw atau dyew yang bermakna “langit, surga, CAHAYA, atau bersinar”. Kata dewa dalam bahasa Inggris (deity) berasal dari deité (bahasa Prancis Pertengahan), yang berasal dari deus (bahasa Latin), yang berasal dari devos atau deiuos (bahasa Latin Lama), yang berasal dari deiwos (bahasa Proto-Italia), yang pada akhirnya memiliki akar serupa dengan kata “dewa” dalam bahasa Indonesia, yaitu kata diw atau dyew dalam bahasa Proto-India-Eropa. Dewa dalam Terminologi Shindu atau Hindu adalah Mahluk yang ditugaskan oleh Tuhan berasal dari Cahaya atau diciptakan dari Cahaya. Dalam Terminologi Islam Dewa memiliki kemiripan fungsi dengan mahluk Tuhan yang diciptakan dari cahaya yaitu Malaikat. Tuhan memberi tugas para Dewa untuk menjaga alam semesta ini dan dalam terminologi Hindu secara garis besar dibagi menjadi 3 dewa yaitu Dewa Brahma bertugas menciptakan segala sesuatu, kemudian Dewa Wisnu bertugas melindungi dan merawat sistem alam semesta, dan terakhir adalah Dewa Siwa yang bertugas menghancurkan atau melebur segala sesuatu yang usang kembali keasalnya. Secara simbolis ketiga dewa tersebut berhubungan dan sangat diperlukan dalam sistem alam semesta untuk terjaga keseimbangannya sebagai contoh dalam tubuh kita saja diperlukan sistem pelebur, pencipta, dan pemelihara, makanan yang kita makan perlu dilebur melalui enzym penghancur dikembalikan ke asalnya zat- zat yang dibutuhkan manusia kemudian setelah lebur kembali ke asalnya zat- zat tersebut tercipta menjadi energi dalam tubuh maka sistem penciptaanlah yang berperan, dan tentu saja keseluruhan sistem tersebut harus dipelihara dengan baik agar tubuh kita berjalan dengan normal/ sehat, sistem pemelihara lah yang berperan. Tatanan sistem alam semesta tersebut disimbolkan dalam bentuk Dewa yaitu Siwa dewa pelebur, Brahma dewa pencipta, dan Wisnu dewa pemelihara.

Agama Budha sendiri muncul akibat kekecewaan Sidharta Gautama terhadap sistem Kasta yang muncul pada perkembangan Agama Hindu, secara prinsip tetap mengacu kepada Ketuhanan atau Tuhan Yang Maha Esa yang diwujudkan kedalam Budha. Agama Abrahamik atau Agama Keturunan Ibrahim sendiri muncul dari Nabi Ibrahim AS yang menurunkan tiga agama besar dunia yaitu Yahudi yang dibawa oleh Nabi Musa AS, lalu kemudian Agama Nasrani atau Kristen yang dibawa oleh Nabi Isa AS, dan terakhir adalah Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Ketiga Agama Ibrahim tersebut meyakini Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa, meyakini adanya Malaikat, dan meyakini adanya para Nabi dan Rosul yang ditugaskan oleh Alloh SWT mengajarkan budi pekerti, kebaikan, dan nilai- nilai spiritual kepada masyarakat, menjadi juru selamat kepada umat manusia agar terhindar dari kekacauan dan kehancuran. Islam sendiri dari kata Salam yang berarti Selamat dan Dienul Islam adalah Jalan Keselamatan dengan menjalankan Perintah Tuhan yaitu Allah SWT dan menjauhi larangannya. Terlepas dari berbagai ritual atau cara dalam menjalankan Agama Allah tersebut secara prinsip Agama Abrahamik memiliki kesamaan bahwa semuanya mempercayai Allah sebagai Tuhan Semesta Alam.

Apabila menelisik kata Abraham atau Ibrahim maka kita akan mudah menemukan bahwa kata tersebut berasal dari kata Brahm atau Brahma dimana dalam Terminologi Hindu maupun Budha Brahma atau Brahmana adalah Guru yang mengajarkan tentang Ketuhanan atau Ilahiah. Dalam Terminologi Shindu/ Hindu Brahmanalah yang bertugas menjadi guru mengajarkan manusia tentang budipekerti dan ketuhanan. Dalam Agama Abrahamik pun demikian adalah Ibrahim / Brahm/ Brahmana lah yang kemudian menurunkan ketiga agama besar di dunia. Darimanakah para Brahmana ini mendapatkan ilmu pengetahuannya? Baik dalam terminologi Shindu maupun Islam ada Dewa atau Malaikat yang bertugas memberikan pengetahuan atau Ilmu yaitu Malaikat Jibril / Gabriel dalam Terminologi Agama Abrahamik dan Dewa Guru atau Batara Guru dalam terminologi Agama Shindu. Batara Guru / Cahaya / Malaikat Jibril/ Gabriel membimbing para Brahmana mengajarkan manusia- manusia pilihan / manusia- manusia unggulan untuk menjadi juru selamat bagi alam semesta, mengajarkan manusia menjadi Khalifah Fil Ardi, Pemimpin yang Amanah, Darma Raja menuju Jalan Keselamatan, Jalan yang diajarkan oleh Tuhan. Kita tentu percaya bahwa Tuhan Semesta Alam itu satu dan Ajaran Agama Ibrahim pun mengajarkan demikian bahwa Tiada Tuhan selain Allah SWT, Tuhan yang tidak bisa dijangkau oleh pikiran manusia karena kemampuan manusia lah yang terbatas untuk mampu menjangkaunya. Untuk menjembatani hubungan Tuhan dengan Manusia maka Tuhan menurunkan para Malaikat dalam Terminologi Agama Ibrahim atau Dewa / Cahaya dalam terminologi Agama Shindu.

Apabila kita diberikan keikhlasan mata hati kita maka kita dapat memahami dengan mudah bahwa karena Tuhan Semesta Alam itu SATU atau Tunggal atau ESA maka semuanya berasal dari satu, adapun perbedaan- perbedaan yang ada saat ini hanya karena DEVIASI istilah yang disebabkan karena perbedaan bahasa. Sama halnya kita memahami Zat H2O yang dalam bahasa Indonesia disebut Air, dalam bahasa inggris disebut Water, dalam bahasa Sunda disebut Cai, dalam Bahasa Sangsakerta disebut Tirta, dalam Bahasa Jawa disebut Banyu, dan ada banyak bahasa di dunia ini sehingga timbul deviasi sangat akut terhadap pemahaman agama- agama yang ada. Deviasi terjadi selain karena bahasa juga karena pemahaman terhadap agama- agama yang ada di dunia ini dipahami secara Literal atau Textual tidak mencoba menggalinya secara Simbolis untuk diambil makna atau arti atau maksud dari Simbol- simbol yang ada dalam agama tersebut. Apabila kita mau membuka mata hati kita mencoba memahami secara simbolis maka akan paham bahwa semuanya juga terdapat kemiripan- kemiripan contohnya OM dalam Terminologi Hindu ada di Cakra-7 bersimbol Putih disebut sebagai “The Sound of God”, Suara Tuhan atau Ketuhanan atau Ilahiah. Dalam Mithos atau Legenda Sunda Munding Laya Dikusumah menjelaskan tentang perjalanan mencari Layang Sasaka Domas dengan pergi ke Jabaning Langit dan menaklukan Guriang 7, ketika ditanya dimanakah Jabaning Langit dijawab di tubuh mu, ketika ditanya lagi dimana lokasi Jabaning Langit jawabannya di hatimu. Sasaka Domas bagi Orang Kabuyutan Kanekes adalah tempat suci dimana mereka memuja Sang Hyang Keresa, Tuhan Semesta Alam. Dalam Terminologi Islam Tuhan atau Allah berada di langit ke-7 atau Sidratul Muntaha dimana dalam peristiwa Isra Miraj Nabi Muhammad SAW diajak oleh Malaikat Jibril untuk bertemu dengan Tuhan menerima perintah Shalat dari Allah.

Sejak kemunculannya 1400 tahun silam, Al-quran sebagai kitab yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sudah menjelaskan bahwa Allah SWT menciptakan langit sebanyak tujuh lapis. Bahkan dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW sudah sampai ke sana untuk menerima perintah Shalat dari Allah. Allah menjelaskan dalam Surat 2 Al-Baqarah ayat 29 bahwa langit memiliki tujuh lapisan dan memiliki fungsi yang berbeda. Arti ayat tersebut adalah sebagai berikut. Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan dia maha mengetahui segala sesuatu. (Surat 2 Al-Baqarah ayat 29). Ayat lain yang menyatakan bahwa Langit itu terdiri dari 7 lapis adalah dalam Surat 41 Fushshilat ayat 11, yang artinya: Maka dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan yang maha perkasa lagi maha mengetahui. (Surat 41 Fushshilat ayat 11). Ayat di atas menjelaskan bahwa setiap lapisan langit memiliki urusannya sendiri-sendiri. Hal ini berarti setiap lapisan langit memiliki fungsi masing-masing.

Menarik sekali bukan kemiripan Terminologi Hindu mengenal 7 Cakra, Terminologi Sunda mengenal 7 Guriang, dan Terminologi Islam mengenal 7 Langit. Kalau kita perhatikan tulisan Sangkerta OM yang merepresentasikan Tuhan atau Ketuhanan atau Ilahiah maka ada kemiripan dengan tulisan Allah dalah bahasa Arab dan menariknya keduanya merepresentasikan hal yang sama yaitu TUHAN. Bahkan tuisan OM dalam bahasa Sansakerta apabila diputar 90 derajat ke kanan dan dibaca secara tuisan Arab adalah Allah. Dengan demikian barangkali tidak salah apabila ada hipotesa yang mengatakan seluruh agama yang ada di dunia berasal dari Yang Satu tentu siapa lagi kalau bukan berasa dari TUHAN atau ALLAH yang mengajarkan manusia- manusia unggul / manusia- manusia pilihan melalui para malaikatnya untuk menjadi juru selamat di berbagai bangsa dan peradaban manusia. Kita melihatnya sekarang berbeda- beda akibat adanya perbedaan bahasa dan istilah dan seringkali kita malah timbul konflik antara umat manusia hanya karena perbedaan- perbedaan istilah, padahal apabila dipahami secara simbolis maknanya kita akan terkejut ternyata yang kita ributkan bermuara dari Satu Yang Sama semuanya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa dimana Tuhan sendiri mengajarkan Jalan Keselamatan, Jalan Tuhan bukan jalan permusuhan yang justru menimbulkan kehancuran.

Barangkali secara simbolis kita harus belajar dari Mundinglaya Dikusumah bagaimana kita bisa mengalahkan Jongrang Kalapitung yang ada dalam diri kita agar menjadi Manusia Unggul (MaUng) mencapai Jabaning Langit menaklukan Guriang 7, 7 Cakra yang ada dalam tubuh kita dan mendekatkan diri dengan Tuhan agar menjadi manusia yang paripurna menjadi juru selamat baik untuk diri kita pribadi, keluarga, dan lingkungan kita. Semoga kita dapat mengalahkan sifat Iblis / Jongrang Kalapitung berupa sifat sombong, iri dengki, dan sifat keburukan yang akan menjauhkan diri kita dari Tuhan Yang Maha Esa atau menjatuhkan diri kita kedalam jurang kenistaan, terbakar api neraka, api amarah dan kebencian sehingga hati kita dipenuhi kekotoran, sakit hati, iri dengki, fitnah keji, dan lainnya yang pada akhirnya Tubuh kita pun akan merasakan sakit. Sasaka Domas yang ada di Jabaning Langit ke-7 simbol Ketuhanan, Kesucian, dengan Warna Putih, di Kabuyutan Cipaku disebut Aji Putih tempat bersemayamnya Batara Guru Aji Putih dimana diajarkan kebersihan dan kesucian hati agar kembali ke Jalan Keselamatan/ Jalan Tuhan/ Jalan Alloh SWT, menjadi Khalifah Fil Ardi/ Darma Raja Sumedang Larang. Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh, Silih Wangian, berlomba- lomba dalam kebaikan dengan dilandasi rasa kasih sayang antara sesama umat manusia yang seasal dan seturunan. Semuanya berasal dari Cipaku, ci artinya air dan paku artinya lingga/ alat reproduksi laki- laki, cipaku artinya sperma, cikal bakal seluruh manusia yang ada di bumi dan filosofi manusia yang seasal dan seturunan yang membedakan di mata Tuhan hanyalah kebaikannya, Guriang 7, Sasaka Domas, Siliwangi.

img_0381001007

Pada tanggal 1 Mei 2016 dimana tulisan ini dituliskan Situs Astana Gede Lembu Agung Mundinglaya Dikusumah Kabuyutan Cipaku Darmaraja Sumedang sudah hampir tenggelam oleh Pembangunan Waduk Jatigede, saat ini airnya sudah berada di kaki Situs Astana Gede Mundinglaya Dikusumah, semoga hal itu bukan menjadi pertanda buruk bagi bangsa ini, sebagai totonden tenggelamnya budi pekerti pengisi Bangsa Indonesia. Semoga dengan adanya tulisan ini timbul kesadaran adanya Manusia- manusia Unggul (MaUng) yang mau belajar seperti Mundinglaya Dikusumah mengalahkan Jongrang Kalapitung, menuju Jabaning Langit menaklukan Guriang 7 mendapatkan Layang Sasaka Domas, Jalan Tuhan, Jalan Keselamatan membawa Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang subur, makmur, gemah ripah, loh jinawi, cukup sandang, pangan, papan, dan berbudi luhur menjadi bangsa unggul yang dipercaya dan disegani oleh masyarakat dunia, tidak lagi menjadi bangsa yang dilecehkan, dijajah, dan dihina bangsa lain sebagai bangsa yang Korup dan Income per Capita atau Pendapatan yang Rendah alias Miskin. Bangsa ini harus bangkit dari keterpurukan dan solusinya adalah Mundinglaya Dikusumah yang bisa menaklukan Guriang 7 dan mendapatkan Layang Sasaka Domas. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa memberikan ampunan kepada kita semua dan tidak bosan- bosannya menurunkan Batara Guru/ Malaikat Jibril yang memberikan ilmu pengetahuan kepada kita semua agar menjadi pribadi- pribadi yang dapat menaklukan sifat- sifat Iblis yang ada dalam tubuh kita sehingga mampu menjadi Manusia Unggul/ MaUng/ Manusia Paripurna yang Jawara/ Juara, Satria Pinandhita, Sang Juru Selamat. Amiiin YRA.

Berikut ini Ringkasan Cerita Legenda Mundinglaya Dikusumah untuk dapat kita pahami makna simbolis yang ada di dalamnya:

Prabu Siliwangi memiliki dua orang istri yaitu Nyimas Tejamantri dan Nyimas Padmawati yang menjadi permaisuri. Dari Nyimas Tejamantri, Prabu Silihwangi mendapat seorang anak yaitu pangeran Guru Gantangan. Sedangkan dari permaisuri Nyimas Padmawati, raja memperoleh anak yang diberi nama Mundinglaya. Beda umur antara pangeran Guru Gantangan dan pangeran Mundinglaya sangat jauh. Saat pangeran Guru Gantangan ditunjuk jadi bupati di Kutabarang dan sudah menikah, Mundinglaya masih anak-anak.

Karena tidak mempunyai anak, pangeran Guru Gantangan memungut anak dan diberi nama Sunten Jaya. Guru Gantangan juga tertarik untuk merawat Mundinglaya sebagai anaknya. Saat pangeran Guru Gantangan meminta Mundinglaya dari permaisuri Nyimas Padmawati, permaisuri memberikannya karena mengetahui bahwa pangeran Guru Gantangan sangat menyayangi pangeran Mundinglaya.

Saat pangeran Mundinglaya dewasa, pangeran Guru Gantangan lebih menyayangi pangeran Mundinglaya daripada pangeran Sunten Jaya. Hal ini disebabkan perbedaan karakter yang sangat jauh antara pangeran Mundinglaya dan pangeran Sunten Jaya. Pangeran Mundinglaya selain rupawan juga baik budi pekertinya sedangkan keponakannya sifatnya angkuh dan manja. Hal ini sangat membuat iri pangeran Sunten Jaya. Terlebih lagi ibunya juga sangat menyayangi pangeran Mundinglaya.

Hanya saja perhatian istri pangeran Guru Gantangan kepada pangeran Mundinglaya sangat berlebihan sehingga membuat pangeran Guru Gantangan cemburu. Akhirnya pangeran Mundinglaya dijebloskan kedalam penjara oleh saudara tirinya itu dengan alasan bahwa pangeran Mundinglaya mengganggu kehormatan wanita. Keputusan ini menjadikan masyarakat dan bangsawan Pajajaran terpecah dua, ada yang menyetujui dan ada yang menentang keputusan tersebut sehingga mengancam ketentraman kerajaan ke arah permusuhan antar saudara.

Pada saat yang gawat ini, terjadi sesuatu yang aneh. Pada suatu malam, permaisuri Nyimas Padmawati bermimpi aneh. Dalam tidurnya, permaisuri melihat tujuh guriang, yaitu mahluk yang tinggal di puncak gunung. Di antara mereka ada yang membawa jimat yang disebut Layang Salaka Domas. Permaisuri mendengar perkataan guriang yang membawa jimat tersebut: “Pajajaran akan tenteram hanya jika seorang kesatria dapat mengambilnya dari Jabaning Langit.”

Segera setelah bangun pada pagi harinya, permaisuri menceritakan mimpi itu kepada raja. Prabu Silihwangi sangat tertarik oleh mimpi permaisuri dan segera meminta seluruh rakyat juga bangsawan, termasuk pangeran Guru Gantangan dan pangeran Sunten Jaya, untuk berkumpul di depan halaman istana untuk membahas mimpinya permaisuri. Setelah seluruhnya berkumpul, raja berkata: “Adakah seorang kesatria yang berani pergi ke Jabaning Langit untuk mengambil jimat Layang Salaka Domas?”

Senyap… Tidak ada suara yang terdengar. Pangeran Sunten Jaya pun tidak mengeluarkan suaranya. Dia takut akan barhadapan dengan Jonggrang Kalapitung, seorang raksasa berbahaya yang selalu menghalangi jalan ke puncak gunung. Setelah beberapa saat, patih Lengser angkat bicara: “Paduka,” dia berkata, “setiap orang telah mendengarkan apa yang disampaikan paduka, kecuali masih ada satu orang yang belum mendengarkannya. Dia berada dalam penjara. Paduka belum menanyainya. Dia adalah pangeran Mundinglaya.” Mendengar ini, raja memerintahkan agar pangeran Mundinglaya dibawa menghadap. Patih Lengser kemudian meminta izin pangeran guru Gantangan untuk melepaskan pangeran Mundinglaya.

Saat pangeran Mundinglaya sudah berada di hadapannya, raja berkata: “Mundinglaya, maukah ananda mengambil jimat Layang Salaka Domas, yang diperlukan untuk mencegah negara dari kehancuran akibat malapetaka?” Karena layang salaka domas penting bagi keselamatan negara, ananda akan pergi mencarinya, ayah,” kata pangeran Mundinglaya.

Prabu Silihwangi sangat senang mendengar jawaban ini. Demikian juga masyarakat dan para bangsawan. Bagi pangeran Mundinglaya, tugas ini juga berarti kebebasan jika dia berhasil mendapatkan layang salaka domas. Sementara bagi pangeran Sunten Jaya ini berarti menyingkirkan musuhnya, karena dia yakin bahwa pamannya akan dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung. “Kakek,” kata pangeran Sunten Jaya, “dia adalah seorang tahanan, jika kakek membiarkannya pergi sekarang, tidak akan ada jaminan bahwa dia akan kembali.”

“Apa yang cucunda usulkan, Sunten Jaya?”

“Jika dia tidak kembali setelah sebulan, penjarakan kanjeng ibu Padmawati dalam istana.” Masyarakat dan bangsawan kaget mendengar permintaan ini. Prabu Silihwangi berbalik kepada pangeran Mundinglaya: “Bagaimana menurutmu?”

”Ananda akan kembali dalam sebulan dan setuju dengan usulan Sunten Jaya.”

Dalam beberap minggu, pangeran Mundinglaya diajari oleh patih Lengser ilmu perang dan cara menggunakan berbagai senjata sebagai bersiapan untuk menghadapi rintangan yang akan ditemui selama perjalanan ke Jabaning Langit. Kemudian pangeran Mundinglaya meninggalkan Pajajaran. Karena dia tidak pernah keluar dari ibukota tersebut, pangeran Mundinglaya tidak mengetahui jalan ke Jabaning Langit. Dengan berserah diri kepada Tuhan yang Maha Kuasa, sang pangeran pergi melewati berbagai hutan lebat untuk menemukan Jabaning Langit dan bertemu dengan para guriang.

Dalam perjalanan, pangeran Mundinglaya melewati kerajaan kecil Muara Beres (atau Tanjung Barat) yang merupakan bawahan dari Pajajaran. Disana pangeran Mundinglaya bertemu dan jatuh hati dengan putri kerajaan yang bernama Dewi Kania atau Dewi Kinawati. Mereka saling berjanji akan bertemu lagi setelah pangeran Mundinglaya berhasil menjalankan tugas dari Prabu silihwangi untuk memperoleh jimat layang salaka domas.

Pangeran Mundinglaya meneruskan perjalanannya. Tiba-tiba di tengah perjalanan dia dicegat oleh raksasa Janggrang Kalapitung yang berdiri di depannya. “Mengapa kamu memasuki wilayahku? Apakah kamu menyerahkan diri sebagai santapanku?”

“Coba saja kalau bisa!” jawab pangeran Mundinglaya dengan tenang. Jonggrang Kalapitung menubruknya tapi pangeran Mundinglaya berkelit.

Berkali-kali si raksasa menyerang pangeran Mundinlaya, tapi lagi dan lagi jatuh ke tanah sampai akhirnya kehabisan napas. Dengan kerisnya, pangeran Mundinglaya mengancam musuhnya:

“Katakan dimana Jabaning Langit?”

“Di dalam dirimu.” Berpikiran bahwa si raksasa berbohong, pangeran Mundinglaya menekankan keris lebih dalam ke leher si raksasa. “Jangan berbohong! Di manakah Jabaning Langit?”

“Di dalam hatimu.” Setelah itu, pangeran Mundinglaya melepaskan raksasa tersebut, sambil berkata: “Aku membebaskanmu, tapi jangan ganggu rakyat Pajajaran lagi.” Jonggrang Kalapitung menuruti dan berterima kasih kepada pangeran Mundinglaya dan meninggalkan Pajajaran selamanya.

Ketika dia pergi, pangeran Mundinglaya menemukan suatu tempat untuk beristirahat dan berdoa meminta tolong kepada tuhan yang Maha Esa untuk diberikan jalan. Suatu hari dia merasakan seolah-olah terangkat dari tempatnya dan terbang ke suatu tempat yang sangat terang. Di sana dia diterima oleh tujuh guriang, mahluk-mahluk supranatural yang menjaga Layang Salaka Domas.

Mereka bertanya kepada pangeran Mundinglaya mengapa berani datang ke Jabaning Langit. “Tujuanku datang ke sini adalah untuk mengambil Layang Salaka Domas yang diperlukan oleh negaraku sebagai obat untuk mencegah permusuhan antar saudara. Akan banyak orang menderita dan mati memperebutkan yang tidak jelas.” “Kami menghargaimu, pangeran Mundinglaya, tapi kami tidak dapat memberimu Layang Salaka Domas karena ini bukan untuk manusia. Bagaimana kalau pemberian lain sebagai hadiah untukmu? Misalnya seorang putri cantik atau kesejahteraan, atau kami dapat menjadikanmu manusia tersuci di dunia?”

“Aku tidak memerlukan semua itu, jika rakyat Pajajaran terlibat dalam perang.”

“Kalau begitu, kamu harus merebutnya setelah mengalahkan kami.” Maka terjadilah perkelahian. Karena para guriang sangat kuat, pangeran Mundinglaya terjatuh dan meninggal. Segera setelah itu, muncul mahluk supranatural lainnya, yaitu Nyi Pohaci yang menampakkan diri dan menghidupkan kembali pangeran Mundinglaya. Pangeran Munding Laya bersiap kembali untuk bertempur dengan para guriang.

“Tidak perlu ada lagi pertempuran, karena engkau telah menunjukkan sifatmu yang sebenarnya,” kata salah satu dari tujuh guriang, “jujur, tidak tamak. Engkau mempunyai hak untuk membawa Layang Salaka Domas.” Dan dia kemudian memberikannya kepada pangeran Mundinglaya. Pangeran Mundinglaya sangat bergembira dan mengucapkan terima kasih. Dia juga berterima kasih kepada Nyi Pohaci atas bantuannya. Dengan dipandu oleh tujuh guriang yang kemudian menyebut diri mereka sebagai Gumarang Tunggal, pangeran Mundinglaya pergi pulang ke Pajajaran.

Di Pajajaran, pangeran Sunten Jaya mengganggu ketentraman permaisuri. Kepada Prabu Silihwangi, pangeran Sunten Jaya mengatakan bahwa permaisuri sebenarnya tidak bermimpi, bahwa dia berdusta untuk membebaskan putranya dari penjara. Dengan demikian, dia membujuk Prabu Silihwangi untuk menghukum mati permaisuri.

Pangeran Sunten Jaya bahkan lebih jauh berniat untuk mengganggu ketentraman Dewi Kinawati di Muara Beres dengan menceritakan bahwa pangeran Mundinglaya telah dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung. Tentara digelar untuk mendatangi kerajaan itu. Pada saat yang gawat tersebut, pangeran Mundinglaya beserta ajudannya telah sampai ke Pajajaran. Mereka senang dan berteriak kegirangan. Pangeran Sunten Jaya dan pengikutnya diusir.

Setelah itu. Prabu Silihwangi menobatkan pangeran Mundinglaya sebagai raja Pajajaran menggantikannya dengan gelar Mundinglaya Dikusumah.

Tidak lama setelah itu, Mundinglaya Dikusumah menikahi Dewi Kinawati dan menjadikannya sebagai permaisuri dan Pajajaran menjadi negara yang adil makmur dan aman.